1
Bukan fiksi, tapi sebuah kenyataan. Tidak salah 9 tahun silam ketika saya duduk di kelas 4 SD. SD Negeri 02 Nabire, Papua.

Sekolah yang tak jauh dari keramaian kota, bersebelahan dari arah timur Pasar Karang, dan arah barat dari Puskesmas Karang Tumaritis. Tapi kalau sebutan anak terminal di sana adalah pasar pusat dari segalanya.

Kelas 4 B waktu itu. Awal tahun, awal semester, awal ajaran baru dan awal pendidikan di bangku kelas 4 B.

Lonceng pagi masuk kelas. Karena semangat ditambah dengan asyiknya tahun ajaran baru, ditambah lagi semangat naik kelas, saya pun cepat masuk ke dalam kelas walau pun terlambat tidak lebih dari 5 menit.

Pak guru wali kelas kami kebetulan belum masuk. Semua senyum bahagia melihat kebahagiaan dalam kelas yang kondusif. Tidak sama seperti dulunya, kelas yang kacau, dan kami dicap dari kepala sekolah sebagai kelas paling nakal dari semua kelas.


Banyak sekali senyum dan penorama ketika itu. Saya menuju di tempat duduk saya yang baru.

Pak guru pun masuk dalam kelas. Pengarahan dan pengantar untuk pembelajaran satu tahun kedepan pun sudah diantarkan sesuai dengan silabus yang akan diajarkan.

Tak terasa, di sebelah saya ada seorang murid baru. Ramah dan tenang, mungkin karena malu dalam kelas.

“Selamat teman.” Sapaku.

Tanpa mengeluarkan suara dia berbalik salam denganku. Senyum manis tapi tak tahu apa yang dia pikirkan.

“Ko tinggal dimana?,” tanyaku,

“Sa tinggal di belakang kantor kelurahan Karang.” Jawabnya.

Keherangan, sekolah yang tak jauh dari tempatnya. Kok, baru masuk sekarang di sini. Ahahaha, entah, mungkin karena pindahan dari sekolah lain.
“Oooo, lupa. Ko pu nama siapa,” tanyaku,

“Sa pu nama, Neles.” jawabnya.

Neles, itu nama yang simpel keluara dari mulutnya. Tapi sebelum-sebelumnya saya pernah mendengar nama yang sama tapi tak tahu dimana. Sebuah ilusinasi waktu itu, senyum terus yang menggentar dalam pikirannya. Sungguh!

Kami berdua sudah mulai akrab hampir berbulan-bulan. Kegiatan belajar-mengajar kami berdua lewati dengan berbagai suka dan duka.

Keakraban kami berdua mulai terjalin. Studi hari demi hari kami berdua jalani bersama-sama, walau pun kami berdua dikategorikan dalam kelas sebagai anak yang kurang mampu dalam untuk memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan pak guru.

Neles Uti, itu panggilan teman-teman saya dalam kelas dan di luar kelas. Ceria dan semangat adalah salah satu dalam hidupnya.

Setiap hari, habis pulang sekolah dia selalu mengajakku untuk pergi ke Pasar Karang. Hampir sesering. Sampai di pasar, dia biasa membelikan saya minum dan makan. Es Jasjus dan nasi kuning, itu makanan sehari-hari kami berdua. Sama halnya juga, kalau dia tidak ada uang, saya yang biasa mengajaknya.

Kisah yang mengensankan pada waktu itu. Kira-kira pukul 10 pagi, hari Jumat. Karena lonceng pulang sekolah berbunyi, kami berdua pergi ke pasar dan beli makan.

Tempat biasa, depan kantor kelurahan Karang. Kami dua duduk sambil menatapi keramaian jalan raya di depan sekolah. Kebetulan banyak sekali TNI dan Polri yang melewati jalan itu, tak tahu ada kegiatan yang mereka sedang laksanakan.

Spontan, karena keasikan makan,

“Mika, ko lihat polisi-polisi dong tu?” ungkapnya,

“Kenapa dengan dorang?,” tanyaku,

“Dong ramai sekali. Tidak seperti biasa.” jawabnya.

Sejenak,

“Enak juga jadi polisi, bisa pegang senjata,” ungkapnya,

“Ahahaha, ko mau jadi polisi ni?,” tanyaku,

“Iooo.”

Tertawa terbahak-bahak waktu itu karena dengar apa yang dia katakan. Mungkin suasana dulu beda dengan suasana sekarang. Cita-cita itu kalau kita impikan dan bayangkap sama seperti kenyataan yang akan kita capai.

Hampir setengah semester, kegiatan belajar dan mengajar berlanjut hingga dekat ujian semester. Hamin 3 minggu sebelum ujian semester. Pada waktu itu hari senin, hari pertama dalam seminggu, Neles belum datang ke sekolah.

Hari berikutnya sama, dia belum juga datang ke sekolah.

Pembelajaran berlangsung hingga hamin 2 minggu. Satu minggu dia tidak masuk sekolah, entah sakit atau ada kendala lainnya yang melandanya.

Karena tidak masuk hingga lebih dari dua minggu. Saya pun pergi ke rumahnya untuk melihat keadaannya di sana.

Sampai di rumahnya, saya dapati dia depan rumahnya. Kebetulan dia mau keluar dari rumah.

“Neles, ko mau kemana? Ko kenapa tidak masuk?,” tanyaku,

“Sa mau keluar sekolah.” Jawabnya.

Spontan karena keherangan. Tanpa kata tanpa apa yang saya keluarkan dari dalam mulut saya.

“Kenapa ko keluar ?” tanyaku.

Tidak ada jawaban yang saya terima. Dia pun lari ikut belakan rumahnya hingga menuju ke pasar Karang.

Karena sedih, saya pun ke depan rumahnya menuju ke tempat perlariannya. Tidak bisa menemukannya, saya pun kembali ke tempat tinggal saya.
Itulah pilihannya, tak bisa di pungkiri. Sekarang hampir setiap hari bertemu dengannya, tapi tidak tahu, dia tidak ingat semua cerita tentang kita berdua waktu itu.

Sangat mengesankan, “Sa pu nama, Neles. Sa mau jadi Polisi” Kata yang di lontarkannya 9 tahun yang lalu.

Sekarang dia bagi orang lain sangatlah jauh dari kebiasaan hidup manusia normal pada umumnya, kata orang-orang yang sering membencinya.

Dia bukan seorang yang tidak normal akan tindakan yang sering dia lakukan dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Tapi, Neles adalah bentuk sosok manusia yang mempunyai impian dan cita-cita yang besar dalam hidupnya. []

@kudiai_m

Posting Komentar

  1. happyluke.com - TAB.COM
    i had never 메리트카지노 heard that the slot machines bet365 on the market that they had a gambling machine that happyluke was rigged. This is why online casino has no

    BalasHapus

 
Top