Malam itu langit bertaburan bintang
terangi bumi. Tepat di bawahnya, tampak tiga insan saling beradu
argument. Angin sepoi-poi memberikan kesejukan tersendiri buat tiga
hati yang gersang, hampa, rindu akan pembebasan. Pembebasan yang
selalu diimpikan, yakni keadilan bagi kaum hawa. Keadilan tuk
dapatkan hidup setara sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa di dunia.
Mereka adalah Lina, Cinta dan Mia,
tentu saja bukan nama sebenarnya.
Lina baru turun dari atas motor,
diantar seorang sahabat sebelum bertemu dengan dua orang perempuan
yang sudah dianggap sebagai teman atau konco, dalam bahasa jawa.
Walaupun usia mereka sudah dua dan tujuh tahun melebihi Lina. Namun
kecocokan yang dirasakan melalui kenyamanan dalam berpendapat
membuatnya nyaman tuk saling berikan argument tentang berbagai hal.
“Bebz, sudah lama ka?”, begitu sapa
Lina ketika melihat seorang gadis berkulit hitam, berbadan besar dan
berambut keriting ombak itu. Cinta namanya. Perempuan Papua asal
bibir danau sentani, Jayapura, yang sedang berkuliah di UGM.
Seperti biasa, dia membalas dengan nada
tinggi tapi berisi. "Iyoo... kebiasaan, terlambat lagi, urus
keluarga kecil dulu too, Lina?”.
Seperti biasa juga, Lina menjawab dgn
gelak tawa.
Mia cuma menambahkan dengan nasehatnya
agar tidak terulang, “lainkali kalau mau ikut diskusi itu nyalakan
alarm nona”, katanya datar menasehati. Mia adalah perempuan Tambrau
yang telah selesai dari salah satu kampus, jurusan sastra inggris.
Mendengar kata-katanya, Lina langsung
mangut-mangut. Perbincangan mereka pun bermula ketika Cinta
melemparkan satu pertanyaan kepada Mia, yang menurutnya adalah ahli
seksisme.
"Kaka Mia, kaka kan ahli seksisme
too, kaka tolong jelaskan seksisme itu seperti apa dulu, supaya sa
dan Lina tahu".
Mia adalah salah satu perempuan Papua
yang juga sering mengikuti Komunitas Perjuangan Perempuan (KPP)
yogyakarta, yang banyak mempelajari tentang seksisme. Menurut Mia,
seksisme biasa disebut dengan ketidakadilan gender, yaitu perlakuan
tidak adil pada seseorang, terutama perempuan karena jenis
kelaminnya.
“Seksisme itu adalah perilaku dimana
laki-laki memperlakukan dan memberi bahasa pada perempuan secara
kurang baik, atau sebaliknya,” jelas Mia, sambil menambahkan,
umumnya dari laki-laki terhadap perempuan.
“Ada berbagai kategori seksisme atau
ketidakadilan gender tersebut, diantaranya adalah stereotip bahasa
yang diberikan oleh kaum laki-laki ataupun perempuan," tambah
Mia.
“Berarti saat laki-laki kasi keluar
kata-kata rayuan pada seorang perempuan, sampe memohon-mohon karna
tahu bahwa perempuan adalah makhluk perasa. Itu seksisme too, kaka?,"
tanya Lina.
“Iyo, itu adalah bagian dari seksisme
yang diturunkan dalam bentuk bahasa yang mendiskriminasikan perempuan
secara gender. Padahal kalau dilihat, pilihan menerima dan menolak
itu kembali pada pribadi perempuan sendiri. Tapi kalau perempuan
menerima walaupun tahu bahwa laki-laki itu sudah pernah merayu dan
meninggalkan beberapa cewek sebelumnya, berarti itu namanya cinta
ambisi atau nafsu," jelas Mia.
“Baru pemaksaan, kekerasan dan
pelecehan seksual terhadap perempuan itu bagaimana kaka?”, tanya
Cinta. “Oh... itu namanya kriminalitas dalam seksisme. Kebanyakan
laki-laki yang melakukan itu karna masih berada dalam kungkungan
budaya patrarki yang kuat. Mereka menganggap bahwa itu adalah hal
yang wajar," jawab Mia.
Jika ada laki-laki atau perempuan yang
melakukan perilaku kasar terhadap pasangan maka itu adalah
tanda-tanda ia psikopat cinta. Psikopat tidak sama dengan gila,
karena seorang psikopat tidak hilang ingatan tapi bisa membuat
seolah-olah orang lain yang gila. Orang-orang seperti itu
ciri-cirinya adalah berposesif berlebihan, melarang bergaul,
menjauhkan pasangan dari keluarganya, pandai berbohong, merasa selalu
benar, senang membuat dan menceritakan masa lalu, tidak punya empati
dan melakukan kekerasan verbal dan fisik.
Semua hening sejenak mencerna kata-kata
yang barusan dikeluarkan masing-masing. Entah terekam dalam memori
otak atau keluar lagi melalui telinga sebelah, masing-masing yang
mengerti. Saat itu yang mereka tahu dan rasa adalah 'pemberontakan
kampung tengah' alias lapar yang semakin menjadi-jadi.
"Lapar!"
...dan ketiganya saling berpandangan!
Tersenyum.
"Siapa yang akan pergi beli roti
bakar?”
Saling memandang dan kali ini pun,
sepi. Saling senyum, dan kemudian saling menunjuk.
Akhirnya Lina dan Cinta yang jadi pergi
beli makan.
Singkat cerita, mereka sudah berada di
depan tempat penjualan roti bakar di perempatan rel kereta api. Cinta
pun menawarkan diri tuk memesan dua roti bakar.
“Pak, roti bakar keju-coklatnya satu
sama yang rasa coklat satu ya."
“Iya Mba, ditunggu aja yaa."
Sambil menunggu roti bakarnya jadi,
mereka mencari tempat di sekitar itu tuk melanjutkan perbincangan
hangat mereka. Lagi-lagi Cinta memecah kebisungan yang ada dengan
memberikan contoh kasus tentang psikopat cinta.
“Ada sa pu teman perempuan satu, de
dilarang bergaul dengan orang lain, apalagi dengan laki-laki.
Perempuan ini tidak biasa diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan,
seminar dan pelatihan begitu”, jelas Cinta.
Cinta menjelaskan, dalam
gerakan-gerakan keadilan dan gerakan revolusioner besar sekalipun
banyak yang masih memperlakukan perempuan secara tidak adil. Di
banyak tempat, misalnya di Papua, masih ada saja praktek-praktek
budaya patriarki dalam kehidupan gerakan mereka. Perempuan hanya
ditugaskan untuk menyiapkan dan memberi makan-minum. Sementara
laki-laki berwenang tuk menyampaikan argument dan memutuskan sesuatu
di atas podium dan publik. Padahal dalam sebuah gerakan, peran
perempuan sangatlah penting, dalam melakukan sebuah perlawanan yang
sejati, karena penindasan yang sejati itu sedang ditanggung oleh
perempuan-perempuan Papua.
Tiga perempuan itu masih duduk hingga
kentong dibunyikan tanda pintu-pintu gang sebentar lagi akan ditutup.
Setelah sepakat bahwa seksisme yang
ditururunkan melalui stereotip bahasa itu harus mulai diperbaiki oleh
perempuan dan laki-laki, mereka mulai bergegas meninggalkan tempat
diskusi.
Namun karena steorotip bahasa yang
ditujukan kepada perempuan yang lebih mendominasi dibandingkan
laki-laki karena dilegitimasi dengan berbagai aspek lain, ketiga
perempuan Papua ini mulai memantapkan tekad untuk mulai melawannya
dari diri mereka sendiri, sambil terus menyadarkan
perempuan-perempuan lainnya.
@motebidau
baca di:
baca di:
http://www.sastrapapua.com/2016/09/perempuan-papua-dan-bahaya-seksisme.html
Malam itu langit
bertaburan bintang terangi bumi. Tepat di bawahnya, tampak tiga insan
saling beradu argument. Angin sepoi-poi memberikan kesejukan tersendiri
buat tiga hati yang gersang, hampa, rindu akan pembebasan. Pembebasan
yang selalu diimpikan, yakni keadilan bagi kaum hawa. Keadilan tuk
dapatkan hidup setara sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa di dunia.
Mereka adalah Lina, Cinta dan Mia, tentu saja bukan nama sebenarnya.
Lina baru turun dari atas motor, diantar seorang sahabat sebelum bertemu
dengan dua orang perempuan yang sudah dianggap sebagai teman atau
konco, dalam bahasa jawa. Walaupun usia mereka sudah dua dan tujuh tahun
melebihi Lina. Namun kecocokan yang dirasakan melalui kenyamanan dalam
berpendapat membuatnya nyaman tuk saling berikan argument tentang
berbagai hal.
“Bebz, sudah lama ka?”, begitu sapa Lina ketika melihat seorang gadis
berkulit hitam, berbadan besar dan berambut keriting ombak itu. Cinta
namanya. Perempuan Papua asal bibir danau sentani, Jayapura, yang sedang
berkuliah di UGM.
Seperti biasa, dia membalas dengan nada tinggi tapi berisi.
"Iyoo... kebiasaan, terlambat lagi, urus keluarga kecil dulu too,
Lina?”.
Seperti biasa juga, Lina menjawab dgn gelak tawa.
Mia cuma menambahkan dengan nasehatnya agar tidak terulang, “lainkali
kalau mau ikut diskusi itu nyalakan alarm nona”, katanya datar
menasehati. Mia adalah perempuan Tambrau yang telah selesai dari salah
satu kampus, jurusan sastra inggris.
Mendengar kata-katanya, Lina langsung mangut-mangut. Perbincangan mereka
pun bermula ketika Cinta melemparkan satu pertanyaan kepada Mia, yang
menurutnya adalah ahli seksisme.
"Kaka Mia, kaka kan ahli seksisme too, kaka tolong jelaskan seksisme itu
seperti apa dulu, supaya sa dan Lina tahu".
Mia adalah salah satu perempuan Papua yang juga sering mengikuti
Komunitas Perjuangan Perempuan (KPP) yogyakarta, yang banyak mempelajari
tentang seksisme. Menurut Mia, seksisme biasa disebut dengan
ketidakadilan gender, yaitu perlakuan tidak adil pada seseorang,
terutama perempuan karena jenis kelaminnya.
“Seksisme itu adalah perilaku dimana laki-laki memperlakukan dan memberi
bahasa pada perempuan secara kurang baik, atau sebaliknya,” jelas Mia,
sambil menambahkan, umumnya dari laki-laki terhadap perempuan.
“Ada berbagai kategori seksisme atau ketidakadilan gender tersebut,
diantaranya adalah stereotip bahasa yang diberikan oleh kaum laki-laki
ataupun perempuan," tambah Mia.
“Berarti saat laki-laki kasi keluar kata-kata rayuan pada seorang
perempuan, sampe memohon-mohon karna tahu bahwa perempuan adalah makhluk
perasa. Itu seksisme too, kaka?," tanya Lina.
“Iyo, itu adalah bagian dari seksisme yang diturunkan dalam bentuk
bahasa yang mendiskriminasikan perempuan secara gender. Padahal kalau
dilihat, pilihan menerima dan menolak itu kembali pada pribadi perempuan
sendiri. Tapi kalau perempuan menerima walaupun tahu bahwa laki-laki
itu sudah pernah merayu dan meninggalkan beberapa cewek sebelumnya,
berarti itu namanya cinta ambisi atau nafsu," jelas Mia.
“Baru pemaksaan, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan itu
bagaimana kaka?”, tanya Cinta.
“Oh... itu namanya kriminalitas dalam seksisme. Kebanyakan laki-laki
yang melakukan itu karna masih berada dalam kungkungan budaya patrarki
yang kuat. Mereka menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar," jawab
Mia.
Jika ada laki-laki atau perempuan yang melakukan perilaku kasar terhadap
pasangan maka itu adalah tanda-tanda ia psikopat cinta. Psikopat tidak
sama dengan gila, karena seorang psikopat tidak hilang ingatan tapi bisa
membuat seolah-olah orang lain yang gila. Orang-orang seperti itu
ciri-cirinya adalah berposesif berlebihan, melarang bergaul, menjauhkan
pasangan dari keluarganya, pandai berbohong, merasa selalu benar, senang
membuat dan menceritakan masa lalu, tidak punya empati dan melakukan
kekerasan verbal dan fisik.
Semua hening sejenak mencerna kata-kata yang barusan dikeluarkan
masing-masing.
Entah terekam dalam memori otak atau keluar lagi melalui telinga
sebelah, masing-masing yang mengerti. Saat itu yang mereka tahu dan rasa
adalah 'pemberontakan kampung tengah' alias lapar yang semakin
menjadi-jadi.
"Lapar!"
...dan ketiganya saling berpandangan! Tersenyum.
"Siapa yang akan pergi beli roti bakar?”
Saling memandang dan kali ini pun, sepi. Saling senyum, dan kemudian
saling menunjuk.
Akhirnya Lina dan Cinta yang jadi pergi beli makan.
Singkat cerita, mereka sudah berada di depan tempat penjualan roti bakar
di perempatan rel kereta api. Cinta pun menawarkan diri tuk memesan dua
roti bakar.
“Pak, roti bakar keju-coklatnya satu sama yang rasa coklat satu ya."
“Iya Mba, ditunggu aja yaa."
Sambil menunggu roti bakarnya jadi, mereka mencari tempat di sekitar itu
tuk melanjutkan perbincangan hangat mereka. Lagi-lagi Cinta memecah
kebisungan yang ada dengan memberikan contoh kasus tentang psikopat
cinta.
“Ada sa pu teman perempuan satu, de dilarang bergaul dengan orang lain,
apalagi dengan laki-laki. Perempuan ini tidak biasa diikutsertakan dalam
kegiatan-kegiatan, seminar dan pelatihan begitu”, jelas Cinta.
Cinta menjelaskan, dalam gerakan-gerakan keadilan dan gerakan
revolusioner besar sekalipun banyak yang masih memperlakukan perempuan
secara tidak adil. Di banyak tempat, misalnya di Papua, masih ada saja
praktek-praktek budaya patriarki dalam kehidupan gerakan mereka.
Perempuan hanya ditugaskan untuk menyiapkan dan memberi makan-minum.
Sementara laki-laki berwenang tuk menyampaikan argument dan memutuskan
sesuatu di atas podium dan publik. Padahal dalam sebuah gerakan, peran
perempuan sangatlah penting, dalam melakukan sebuah perlawanan yang
sejati, karena penindasan yang sejati itu sedang ditanggung oleh
perempuan-perempuan Papua.
Tiga perempuan itu masih duduk hingga kentong dibunyikan tanda
pintu-pintu gang sebentar lagi akan ditutup.
Setelah sepakat bahwa seksisme yang ditururunkan melalui stereotip
bahasa itu harus mulai diperbaiki oleh perempuan dan laki-laki, mereka
mulai bergegas meninggalkan tempat diskusi.
Namun karena steorotip bahasa yang ditujukan kepada perempuan yang lebih
mendominasi dibandingkan laki-laki karena dilegitimasi dengan berbagai
aspek lain, ketiga perempuan Papua ini mulai memantapkan tekad untuk
mulai melawannya dari diri mereka sendiri, sambil terus menyadarkan
perempuan-perempuan lainnya.
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef
cinta seh <3
BalasHapusMntp adik...
BalasHapusMntp adik...
BalasHapusTrimksh kk
HapusPernah kow baca dan rekam ini ccritakah? Coba biking biar kitorang baku dengar yang betul. Sebab banyak yang pigi baca sudah, tetapi tara tau bunyibasa begini, dorang pikir ni basa macamapatah .... karena dorang pu telinga su pnuh congek sentralisasi bahasa penjara indonesia yg baik dan benar menurut kekuasaan kolonial itu ...
BalasHapus